The Smart Criminal Girl

22.11
adsense 336x280

Namaku Aria Vega. Ya, namaku memang agak mirip anak laki-laki. Tapi aku perempuan tulen. Aku bukanlah gadis sejahat perkiraanmu. Yah, paling tidak, aku melakukannya karena terpaksa.
Saat ini aku sedang mengendap-endap menuju kakak laki-lakiku, Evan. Ia 2 tahun lebih tua dariku. Aku akan menakut-nakutinya. sekarang aku sedang menjadi semacam makhluk halus, karena aku sekarang tidak kasat mata. Bukan Cuma jahil, aku juga sedang menguji coba penemuan baruku.
Sebenarnya sudah menjadi hobiku menakuti Kak Evan. Meski penampilan Kak Evan keren, tapi dia tuh penakut banget. Dulu aku menggerai rambut panjangku yang hitam lurus ini sampai menutupi mukaku. Dengan pakaian serba putih, tidak heran jika Kak Evan mengira aku kuntilanak. Tapi sekarang Kak Evan sudah tidak takut lagi jika aku berpura-pura jadi kuntilanak. Sudah terbiasa. Aku jadi kesal karenanya. Lain kali aku akan berada di samping Kak Evan jika Kak Evan melihat kuntilanak. Dia pasti akan mengira kuntilanak yang ini asli. Padahal aku bisa saja merekayasa dengan menggunakan proyektor. Tapi itu lain kali saja, kali ini aku ingin mencoba penemuanku bersama ayah yang baru jadi ini.
Kak Evan sedang duduk di depan tv. Dengan hati-hati, aku mencabut kabel pada TV. Dia sedikit terkejut, tapi tidak ketakutan. Mungkin ia pikir TVnya rusak. Dia memukul bagian atas TV. Cara tradisional membetulkan barang elektronik yang rusak bagi orang awam. Kalau aku jadi Kak Evan, aku akan meneliti kabelnya dulu sebelum memvonis TV itu benar-benar rusak. Jika benar-benar rusak, aku akan membawa TV itu ke laboratoriumku dan membetulkannya dalam waktu kurang dari 1 jam.
“Aria! TVnya rusak, kamu dimana?” teriak Kak Evan memangilku. Rupanya cara tradisionalnya tak berhasil, dia butuh aku dengan cara modernku. Aku tidak menjawab panggilan Kak Evan. Sudah saatnya masuk ke bagian yang menegakkan bulu kuduk. Aku mendekat pada saklar lampu. Aku memati-nyalakan lampunya. Kak Evan mulai ketakutan.
“Aria, kamu dimana? Jangan bercanda dong, malem Jum’at kliwon nih,” kata Kak Evan dengan suara memelas, khas seseorang yang ketakutan.
Aku berhenti memati-nyalakan lampu. Membiarkan lampu dalam keadaan menyala. Kak Evan diam membeku dalam ketakutannya. Membuat keadaan sunyi senyap. Hanya suara jangkrik dan gemerisik pohon di luar dalam kegelapan malam yang terdengar. Saat yang bagus untuk memulai tahap selanjutnya.
Aku mulai membuat suara tawa-tangis mirip kuntilanak yang menegakkan bulu kuduk. Kak Evan duduk ketakutan di atas sofa. Tapi itu tidak cukup. Aku ingin Kak Evan menjerit dan lari terbirit-birit.
Sesuatu yang kugunakan agar tak kasat mata adalah semacam jubah. Penemuanku bersama ayah. Tubuhku yang tertutupi jubah akan menghilang. Aku perlihatkan sebelah tanganku yang tidak tertutup jubah. Hasilnya adalah tangan melayang tanpa tubuh yang apabila kau melihatnya akan lari terbirit-birit. Dan Evan melihatnya. Ia menjerit histeris dan meninggalkan ruangan secepat kilat. Padahal setahuku, kakakku itu larinya kayak siput.
“Ahahahahahaha…” aku gak bisa menahan tawa. Aku melepas jubahku agar kak Evan tidak kencing di celana. “Kau lebih penakut dari pada yang kukira, kak!” ucapku sambil menahan tawa.
Evan mendekat padaku. “Gak lucu ah!” ucapnya agak sebal. Kejahilan memang lucu bagi sebelah pihak saja. Dia menyambar jubah yang ada di tanganku. “Benda apa ini? Pasti ciptaanmu lagi!” Evan mengalihkan perhatian agar aku tidak mengolok-oloknya.
“Ya, lebih tepatnya ciptaan aku dan ayah. Ayah yang merancang itu. aku hanya menyempurnakannya saja. Benda ini namanya Jubah Kamuflase.” Aku merasa suaraku agak bergetar mengatakannya. Membicarakan ayah membuatku ingin menangis. Tapi aku sudah berjanji pada diriku agar tidak menangis lagi.
Ayahku meninggal sebulan yang lalu. Kematiannya diperkirakan karena keracunan makanan. Semua ini gara-gara pak Ferdi! Aku benci padanya. Dia membunuh ayahku!
Waktu itu ayahku diundang makan malam bersamanya. Katanya untuk membicarakan urusan bisnis. Perusahaan Pak Ferdi ingin bekerja sama dengan perusahaan ayah. Padahal aku sangat tahu saingan bisnis ayah yang satu ini sangat membenci ayah. Dan Pak Ferdi bukanlah orang yang suka bekerja sama. Pasti ada alasan lain Pak Ferdi mengundang ayah. Aku punya firasat buruk, kerena Pak Ferdi suka sekali menyingkirkan semua saingan bisnisnya. Apalagi ayahku adalah saingan bisnis utamanya. Aku sudah memperingatkan ayah, agar tidak usah mendatangi undangan itu. pak Ferdi itu jahat.lalu ayah bilang tidak baik berperasangka buruk pada orang. Ia tetap datang. Firasat burukku itu menjadi kenyataan. Ayah keracunan makanan di rumah Pak Ferdi. Tak usah pikir panjang lagi siapa pelakunya, tentu saja Pak Ferdi jahat itu. Anehnya polisi tidak menahan Pak Ferdi. Karena tidak ditemukan sedikit pun racun pada makanan. Padahal tentu saja Pak Ferdi memakai racun yang tidak dapat terdeteksi.
Tidak Cuma kali ini Pak Ferdi lolos dari polisi, Tapi berkali-kali. Pak Ferdi sudah menghilangkan semua bukti. Dia penjahat yang menyamarkan kejahatannya dengan baik. Tapi bukankah aku lebih pintar? Aku beberapa kali melihatnya sedang memperdagangkan barang illegal. aku mengambil beberapa foto dan merekamnya lewat video. Sampai sekarang masih kusimpan, aku akan memperlihatkannya pada polisi di saat yang tepat nanti.
Aku dan kakakku kehilangan sosok seorang ayah Untuk selama-lamanya. Ayah mengajariku semua yang ia ketahui. Aku sangat merindukan saat kami menciptakan penemuan baru bersama. Ia mendukung ide-ideku meskipun aneh. Seperti jubah itu tadi. Ia merancangnya. Membeli semua bahan yang aku butuhkan. Lalu bersama kami membuatnya. Saat ia meninggal, jubah itu masih belum rampung. Jadi aku meneruskannya sendiri. Sekarang tidak ada lagi yang akan membuat penemuan baru bersamaku. Aku merindukan ayah. Tapi aku harus bersyukur masih memiliki kakak. Ia selalu membuatku tenang.
Kak Evan mencoba memakai jubah itu. Lalu melepasnya lagi. “Mirip jubah di Harry Potter.” ujarnya takjub.
“Memang dari situlah inspirasinya.”
“Bagaimana cara kerjanya?”
“Jubah Kamuflase ini menyerap warna-warna setempat, memantulkan cahaya yang dominan.” terangku sesingkat mungkin. selain karena lagi malas menerangkan, juga karena takut kalau nanti kak Evan nggak paham.
“kelemahannya?”
“Jubah Kamuflase tidak bisa membuat pemakainya tak kasatmata sepenuhnya. sensor mikro dalam kainnya, menganalisis dan memantulkan cahaya di area sekitar, tapi setetes air saja mampu merusak segalanya. Kemampuan menghilangnya tidak akan berfungsi lagi. Hanya bekerja dalam keadaan kering.”
“Bagaimana caranya kau menciptakan jubah ini? Bukankah sekarang kondisi keuangan kita kritis?” aduh, kak Evan mengungkit-ungkit lagi kenangan tentang ayah! memang benar, kondisi keuangan kami saat ini kritis. Bahkan bisa dikategorikan membutuhkan. Perusahaan elektronik ayahku bangkrut, ikut meninggal bersamanya. Perusahaannya punya utang yang banyak kepada bank. Alhasil, semua kekayaannya habis untuk membayar utang itu. Aku dan Kak Evan hanya punya uang 2 juta dari belasungkawa untuk bertahan hidup.
Aku dan kakakku terpaksa putus sekolah. Putus sekolah tidak menjadi masalah besar bagiku. Lagi pula aku malas sekolah. Selain karena tidak punya biaya, juga kerena pelajaran sekolah itu terlalu mudah. Pelajarannya seperti pelajaran anak TK bagiku. Walaupun aku masih berusia 14 tahun, tapi pengetahuanku saat ini mungkin setara dengan sarjana, atau tingkatan diatasnya. Yang kukhawatirkan adalah kakakku. Ia tidak sepintar aku. Ia perlu meneruskan SMAnya.
Ibuku? Ia pergi ke Australia untuk meneruskan pendidikannya. Tapi tidak ada satu pun kabar darinya sejak 5 tahun yang lalu. Aku tidak punya kerabat lain. Paman, bibi sama sekali tidak punya. Keempat kakek-nenekku sudah meninggal. Aku dan kakakku sebatang kara di dunia ini. Kakakku terpaksa bekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan. Aku kasihan padanya, setiap hari pulang dengan kecapekan. Ini semua karena Pak Ferdi!
“Aku membuatnya bersama ayah sebelum ayah…meninggal, ayah membelikan semua bahan yang diperlukan untuk membuatnya.” Aku menjelaskannya pada kak Evan.
”Aku ingat saat kau dan ayah menghabiskan waktu berjam-jam di laboratoriumnya. Ternyata kalian menciptakan jubah ajaib ini!” kata kak Evan.
“ya, dan bukan hanya jubah itu saja, bayak penemuan lain yang berhasil kuciptakan bersama ayah. Oh, ya, satu lagi, jubah ini namanya jubah kamuflase, bukan jubah ajaib” aku membetulkan.
“tapi ajaib lebih pas, aku kan lebih suka kalau namanya jubah ajaib!” kak Evan memang sifatnya kayak anak kecil. Suka pada hal-hal berbau sihir. Aku sebenarnya percaya sihir itu ada, bukankah sains dan sihir itu berasal dari akar yang sama? Hanya saja sihir tidak boleh lagi dikembangkan, karena alasan spiritual.
“up to you, kak.” Aku sadar jika terus menanggapi Kak Evan, maka persoalannya tidak akan pernah selesai. Meskipun itu Cuma soal nama aja.
“Tapi, sepertinya kita tidak memerlukan benda seperti ini. Bukannya aku tidak menghargai penemuan peninggalan ayah kita, tapi andai saja penemuanmu itu lebih berguna, pasti akan lebih menguntungkan. Oh, ya, bagaimana kalau penemuanmu ini dipatenkan saja, dengan begitu kita bisa dapat uang,” ujar Kak Evan.
“tidak mau!” aku menolak dengan keras. aku tidak mau orang lain memiliki barang ini, tidak boleh. Lagipula benda ini akan memicu masalah jika dipasarkan.
“Tapi, bagaimana cara kita mendapat uang kalau begitu, aku sudah capek kerja kasar. Angkat-angkat barang, punggungku sakit semua.” Aku tahu kak, aku juga tak mau kakak kerja seperti itu untuk dapat uang, tapi ada cara lain.
“Aku punya ide” kataku.
“Apa itu?” Tanya kakakku.
“Tunggu sebentar, akan kuambilkan sesuatu”
sebelum kakakku bertanya lagi, aku sudah pergi menuju ruang bawah tanah. Tempat itu adalah laboratorium sekaligus ruang kerja ayah dan juga tempat aku membuat semua penemuanku. Dulu, ayah menciptakan penemuan baru bersamaku di tempat ini. laboratorium kami lumayan luas, tapi kelihatan sempit karena banyak benda elektronik berserakan. Karena ayahku dulu pemilik perusahaan elektronik, jadi banyak tumpukan computer bekas, proyek yang gagal, rancangan produk, perangkat computer, penemuanku, dan masih banyak lagi. bahan sisa percobaan dan penemuanku yang dulu dibelikan oleh ayahku masih tersisa banyak di pojok ruangan. semua benda itu memenuhi laboratorium. aku jadi kesulitan mencari benda yang sedang aku cari. Akhirnya aku menemukannya di atas kumpulan CPU computer. Benda itu adalah laptop ukuran mini seukuran kalkulator. Itu juga salah satu barang yang dirancang ayah. Ia ingin mencoba memasarkannya. Sayangnya gara-gara Pak Ferdi juga, harapan ayah hancur. Laptop ini bukan hanya sebuah laptop yang diperkecil saja, tapi juga punya kemampuan yang belum ada pada laptop lain. Aku membawa laptop mini itu ke Kak Evan.
“Ini dia kak” kataku begitu sampai padanya.
“ini idemu? Memang apa yang bisa dilakukannya?” Tanya Kak Evan penasaran. “ini laptop multi fungsi. namanya S-calc, Smart Calculator. selain berfungsi seperti laptop lain pada umumnya, juga bisa digunakan sebagai TV, ponsel, flasdisk, dapat membaca informasi apa pun pada platform apa pun, elektrik maupun organik. Bisa memutar video dari VCD/DVD dengan cara memindai data yang ada di dalamnya, melakukan hubungan online, menerima e-mail, menyusup ke komputer mana pun. dilengkapi pemecah sandi untuk menemukan kata sandi. Dilengkapi berbagai aplikasi komputer. Bisa digunakan membuka, memperbaiki, dan membuat dokumen dalam program file apapun. Mempunyai 3 disk yang masing-masing memilki memori 25 Gb. Baterainya mampu bertahan selama 2 tahun dan, tentu saja, sama sekali tanpa kabel. Mudah dibawa-bawa karena muat untuk dimasukkan saku dan juga tidak begitu berat.” ujarku bangga.
“WOW! Tak kusangka benda imut ini punya kelebihan seperti itu. lalu kau akan menjual benda ini agar bisa dapat uang, gitu?” Tanya Kakakku dengan polosnya.
“Bukan! aku ingin melakukan sesuatu dengan benda itu. sesuatu yang bisa menghasilkan uang yang banyak” kataku. Mendengarnya, Kak Evan tertarik.
“Apa?” tanyanya.
“Sebelum itu, aku ingin meminta izin dari kakak dulu”
“kenapa?”
“karena, sedikit kriminal. Apa kakak mengizinkan?” tanyaku harap harap cemas. Memang kemiskinan melahirkan butir-butir kejahatan. Itu sudah takdir.
Evan tersenyum licik.
Aku tahu dia pasti menyetujuinya. Jalan pikiran kami sama
***
“Bagaimana cara kerjanya?” kata kak Evan tak sabaran sambil mengamati s-calc.
“dengan ini, aku bisa menyusup ke dalam rekening bank seseorang. Dan mengerim uang dari rekening tersebut ke rekening kita.” Ujarku yakin. “tanpa terdeteksi! Alat ini dilengkapi dengan mode hide.” tambahku supaya lebih meyakinkan.
“Rekening siapa yang akan kita curi?” Tanya kakakku.
“Orang yang membunuh ayah kita kak, orang yang menikmati kekayaan karena kematian ayah. Pak Ferdi” ujarku.
“Ide bagus. Aku ingin melihat orang itu melarat.”
Kami duduk di sofa, Kak Evan mengamati caraku menyusup ke rekening bank Pak Ferdi. Aku berhasil menyusup ke rekeningnya. S-calc dengan cepat menghitung total dananya. Orang itu memiliki kekayaan 10 trilyun lebih! Dia pasti tidak keberatan kalo aku mengambil setidaknya setengah kekayaannya. Seharusnya dia harus bersyukur karena aku telah berbaik hati tidak mengambil semuanya. Aku mengirimkan dana itu ke rekening pribadiku. Lalu kupastikan transaksi itu tidak bisa dibalikkan.
“Selesai!”
“Apakah kita kaya sekarang?” Tanya kakakku.
“Tentu saja kak! Kita sudah jadi trilyuner sekarang. Kakak tak perlu kerja kasar lagi!” kataku senang.
“Apa kau yakin semua akan baik-baik saja?” Tanya kakak cemas. Memang ini pertama kalinya kita melakukan perbuatan kriminal. Tapi aku yakin semua akan baik-baik saja. “ya”
***
Dua hari setelah itu, semuanya masih baik-baik saja. Malah lebih baik. Tapi Siang itu telepon tiba-tiba berbunyi. Aku mengangkat ganggang telepon.
“Hallo?” tanyaku dengan penelpon. Lalu suara diseberang menjawab.
“Hallo nak. Sedang menikmati kekayaan sesaatmu?” kata seorang pria dengan suara berat. Aku tahu suara siapa itu. Pak Ferdi. Aku tak takut padanya. Ia pasti tidak akan berani menghubungi polisi. Kalo dia melakukannya, aku juga punya kartu AS. Dia pasti takut semua kejahatannya akan terbongkar.
“Kekayaan macam apa yang bisa didapat anak yatim piatu? Kecuali jika anda memberikan sedikit uangmu pada kami”. Aku heran kenapa Pak Ferdi bisa tahu aku mencuri uangnya.
“Jangan macam-macam nak! Aku sedang berbaik hati sekarang! Kembalikan uangku atau kau akan kehilangan satu-satunya keluargamu!” kata Pak Ferdi mengancam. Aku tak takut pada ancamannya. Aku sudah kebal terhadap ancaman.
“Dari pada bapak mengancam, bukankah lebih baik telepon polisi?” aku memancingnya.
“Aku tidak mau berurusan dengan polisi walaupun itu hanya sekedar meminta bantuan.” Kata Pak Ferdi sesuai dugaanku.
“Ow..ow. Takut kejahatan bapak ketahuan rupanya.” aku memanas-manasinya.
“Kau akan menyesal berurusan denganku Aria Vega!”
Tuuut … tuut …. Tuut. Sambungan telepon sudah diputus. Tidak, justru kaulah yang akan menyesal.Dia kalah omong denganku. Aku tidak semudah itu menyerah. dia pikir aku siapa? Anak kecil ingusan?Aku segera meraih laptopku, kenapa bisa terdeteksi? Aku mengeceknya. Pantas saja, hide modenya belum aktif!
Lalu di layar terlihat ada e-mail masuk. Aku membuka Lalu membacanya. Itu dari ibuku! e-mail itu berisikan bahwa ibu akan pulang ke Indonesia hari ini. Dia memintaku untuk menjemputnya sore ini di bandara Juanda. Di e-mail itu juga berisikan alasan kenapa ibu selama ini menghilang. Dia dipenjara karena sesuatu yang bukan kesalahannya. Begitu dibebaskan ia segera ingin menemui keluarganya. Ibu pasti sedih mendengar ayah telah tiada.
Aku memberi tahu Evan tentang ini. Dan kami tak sabar ingin bertemu ibu. Kami segera menjemput ibu sore ini bandara. Sesampai di bandara, kami menuggu 3 jam, tapi ibu tak kunjung datang. Akhirnya kami pulang.
Sesampai di rumah, kutemui rumahku kosong. Tidak ada ibu. Dimana ibu? Aku sangat sedih dan khawatir. Meski ibu selama ini menghilang dan seakan tidak perduli padaku, tapi tetap saja ibu adalah satu-satunya orang tua yang kumilki. Aku tidak mau kehilangan orang tua untuk yang kedua kalinya. Kak Evan berusaha menenangkanku.
Saat aku baru saja akan memutuskan untuk mencari ibu sekali lagi di bandara, telepon rumah berbunyi. Aku baru ingat sesuatu yang penting. Ancaman Pak Ferdi! Apa dia belum puas membunuh ayahku? Aku segera mengangkat telepon itu.
“Hallo Aria kecilku. Aku tadi ada urusan bisnis, jadi aku pergi ke bandara. Tak kusangka disana ada seseorang yang kukenal. Dan sepertinya kau juga kenal. Jadi kuputuskan untuk menawarinya berkunjung ke rumahku” Pak Ferdi memulai pembicaraan. Menawari berkunjug adalah kata lain dari menculik ibuku.
“Oke, sekarang kita seri Pak. Kembalikan ibuku hidup-hidup dan anda dapat uangmu. Tapi sebelum itu aku ingin memastikan ibuku belum mati.”
Dia menyerahkan telepon itu pada ibu. Lalu terdengarlah suara yang tak aku dengar selama 5 tahun ini.
“Aria, anakku? Kau kah itu? jangan turuti permintaannya nak!”
“Tenang saja bu, aku tak sebodoh itu.” Sebelum ibuku bicara lagi, teleponnya sudah diambil alih oleh Pak Ferdi.
“Sudah cukup reuininya. Aku minta seluruh uangku kembali. Besok paling lambat atau siapkan liang kubur ibumu. Hahaha…”
Tuuut…tuut…tuut
Aku tidak akan mengembalikan uang itu. Lagi pula uang itu sudah tidak dapat dibalikkan. Aku punya sebuah ide. Dan beberapa ide cadangan tentunya.
***
Aku menceritakan itu pada Evan. Aku membuat rencana untuk mengambil ibu diam-diam dari rumah Pak Ferdi tengah malam ini.
Evan menyetujui rencanaku itu. tapi dia masih bingung. “tapi bagaimana? Kita tak mungkin bisa membawa ibu tanpa terlihat oleh penjaga Pak Ferdi!” kata kak Evan.
“mungkin saja.” kataku sambil menunjuk jubah kamuflaseku. “Apa kakak masih menganggap jubahku ini tak berguna?”
“sangat berguna.” kata kak Evan sambil tersenyum lebar padaku.
Aku bangga karena peninggalan ayahku ini bisa berguna. Untuk menyelamatkan nyawa pula!
Dua hari yang lalu, setelah mencuri uang Pak Ferdi, aku memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Dan segala rencana jika ketahuan. Aku menghabiskan semua bahan jubah yang tersisa dan menghasilkan 2 jubah kamuflase.
Sekarang, aku bersiap untuk berangkat menyelamatkan ibuku. Aku membawa 3 jubah kamuflase di dalam tas. Lalu S-calc aku taruh di saku celana bersama barang yang kubutuhkan lainnya. Tidak lupa juga bukti kejahatan Pak Ferdi yang selama ini kusimpan. Jika terpaksa memakai rencana B, mungkin ini saat yang tepat untuk membeberkan kejahatannya.
Aku dan kakakku sudap siap pergi ke rumah Pak Ferdi. Aku memeriksa barang bawaanku sekali lagi. ketinggalan satu barang saja, rencanaku bisa hancur.
“Apa kakak sudah pakai penyumbat telinga?” aku bertaya pada Kak Evan. Memastikan semua sudah lengkap.
“Sudah. Memang untuk apa sih?”
“Rencana B. untuk jaga-jaga” kataku. Aku selalu memikirkan segala kemungkinan. Lalu kami berangkat.
***
Saat ini kami berada tak jauh dari pintu gerbang rumah Pak Ferdi. Dalam kegelapan malam, kami memakai jubah dan segera memasuki rumah mewah itu. Meski mewah, tapi tetap terlihat seram dan menakutkan. Bukan karena ini malam hari, tapi karena memang dari asalnya rumah ini menakutkan. Apalagi Pak Ferdi menghuni rumah ini. Hampir seperti sarang raja iblis. Banyak satpam di pos keamanan. Tapi kami sekarang tak kasat mata. Mereka tak dapat melihat kami.
Setelah melewati pintu gerbang, aku mengawasi setiap sudut rumah. Banyak sekali CCTV, dan setiap pintu dipasangi alarm.
“Apa jubah ini anti kamera?” Tanya kak Evan ragu-ragu.
“Kau meragukanku kak.”
“Baiklah, tapi bagaimana dengan alarmnya?” tanyanya sekali lagi.
“Alarm tak menjadi masalah. Aku bisa mematikan alarm dengan cepat.”
Kami masuk ke rumah mewah itu. luar dalam tetap terlihat menakutkan. Setiap ruangan ada alarm kebakaran. Jika sampai terdeteksi kebakaran maka akan menyiramkan air otomatis. Aku harus berhati-hati agar jubahku tidak basah.
Kami mengendap-endap sambil mengecek semua ruangan. Akhirnya aku menemukan tempat ibuku dikurung. Aku mengetahuinya dari balik jendela yang tertutup tirai, tapi aku bisa melihat dari celahnya, ada orang yang diikat ke kursi. Itu pasti ibuku.. tapi ruangan tempat ibuku berada terkunci. Aku harus membukanya secara manual. Aku mengeluarkan kawat kecil dari saku. Memasukkannya pada lubang pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Aku tak sabar ingin bertemu ibuku. Aku melangkah dengan terburu-buru. Seharusnya aku tahu itu kesalahan fatalku. Karena tepat saat aku melewati pintu, ada seutas benang kecil. Dan aku menginjak benang itu, alarm berbunyi.
Kami berdua terkejut. Alarm berbunyi dengan nyaringnya. Aku tak punya banyak waktu. Segera aku masuk ke ruangan itu. Ruangan itu semacam gudang. Penuh dengan koran dan majalah bekas. Diantara Koran-koran itu, ibuku yang diikat sedang tertidur. Aku segera mengeluarkan pisau dari saku dan melepas ikatan ibuku. Evan mengeluarkan jubah untuk ibuku. Ibuku yang tidur tadi langsung terjaga ketika aku melepaskan ikatannya. Ia terkejut dan ketakutan, mungkin karena aku sedang tak kasat mata. Ia ingin teriak sangking takutnya, tapi mulutnya diperban. Aku melepas perban itu dan membuka jubahku juga agar ibu bisa melihatku. Ibu masih terkejut dan segera memelukku.
“Aria! kau menyelamatkan ibu nak.” Ibu memelukku dengan kencang.
“Aku rindu ibu.” Aku memeluk ibuku juga. Tapi alarm masih berbunyi. Aku tidak punya banyak waktu. Kak Evan segera menyerahkan jubah kamuflase dan penyumbat telinga pada ibu. Ia ingin bertanya tapi aku membungkamnya.
“Langsung pakai saja ibu. Cepat” kataku pada ibu. Ia memakai jubah kamuflasenya. Begitu akan menuju pintu, ada suara ramai dari luar ruangan. “Jika terdengar ledakan, buka mulut kalian.” kataku pada ibu dan Evan.
Secepat kilat, Pak Ferdi dan para premannya memasuki ruang penyekapan. Dia sangat kesal dan marah. Yang ia temukan hanyalah gudang kosong belaka. Ia berkata, ”ternyata si bocah tengil itu berhasil menyusup. Cari mereka! Pasti belum jauh dari sini.” Beberapa premannya segera keluar.
Kami masih bersembunyi pada salah satu sudut gudang. Tidak bisa keluar. Para preman menghalangi pintu. Ia memeriksa seluruh ruangan, tapi tidak menemukan apa-apa. Ia mengumpat dan menyumpah-nyumpah namaku. “jika ketemu lagi! Tamat riwayatmu gadis kecil!”
Pak Ferdi mengeluarkan pemantik dan cerutunya. Ia merokok untuk meredakan amarahnya. Tapi karena tidak konsentrasi, ia mambakar jarinya sendiri. Rasakan tuh api! Pikirku. Tapi masalahnya ia reflek membuang pemantiknya yang masih menyala. Dan pemantik itu jatuh pada tumpukan Koran. Koran mulai terbakar dan memicu alarm kebakaran otomatis.
Aduh, matilah aku
Air mengguyur seisi ruangan. Jubahku basah kuyup. Kemampuan menghilangnya tidak berfungsi. Pak Ferdi terkejut bagai melihat hantu.
“Apa-apaan ini!” katanya sambil mendekatiku. Ia melepas jubahku dan menatapnya. “kau harus menjelaskan semua ini Aria.” ia merenggut jubahku dan 2 jubah lainnya. “Bawa mereka!” ia berbalik dan mengisyaratkan para premannya.
Preman-preman itu menyeretku ke ruang tamu. Kak Evan berbisik padaku, “Rencana B?”. aku menjawab,”Ya! Rencana B”. kami dipaksa duduk di sebuah sofa. Aku pura-pura jatuh. Ketika berdiri, aku memegang kaki meja di depan sofa. Menempelkan sesuatu di sana, Lalu segera duduk di sofa. Pak Ferdi meletakkan jubah di meja.
“Jelaskan apa ini? Apakah kau yang membuatnya?” ia bertanya padaku.
“Kalau iya kenapa?” aku berbalik bertanya kepadanya.
“Aku akan membebaskanmu dengan satu syarat. Kau harus membuatkan barang ini untukku. Ini akan laku mahal. Dan kelihatannya barang ini tak tahan air heh?”
“Aku tak kan pernah bekerja untukmu.” aku menyentaknya.
“Bagaimana kalau nyawa kedua orang tak berguna ini taruhannya?” ia mengancamku. Para preman Pak Ferdi mengarahkan pisau golok mereka pada leher kak Evan dan ibuku. Ibuku yang tak tahu apa-apa meraung berteriak. Kak Evan menatapku agar segera melakukan rencana B. Aku mengangguk. Sudah saatnya.
Aku melirik kaki meja tadi. Sebenarnya aku telah menempel bom bunyi disitu. Salah satu penemuanku dengan ayah. Bom itu akan aktif dengan sandi suara. Aku hanya perlu mengucapkan sebuah kalimat agar bom itu aktif. Aku sangat benci Pak Ferdi. Dia membunuh ayahku, menculik ibuku, dan mengancam membunuh Kakak dan ibuku! Pak Ferdi akan merasakan pembalasanku.
“Kau sudah menyerah nak?” dia menertawakanku. Puas-puaslah tertawa pak! Sebentar lagi kau tak kan bisa tertawa lagi.
“SELAMAT TINGGAL PAK FERDI.” aku mengucapkannya dengan keras dan jelas. Itu kata sandinya. Lalu bom bunyi meledak. Aku langsung membuka mulut. Kalau gigiku terkatup, gelombang sonic dari bom itu akan menghancurkan gigiku berkeping-keping. Untungnya Evan dan ibu ingat kataku tadi. Mereka membuka mulut. Bom bunyi meledak dalam radius 10 meter. Tapi suara yang ditimpulkan bisa membangunkan 10 rumah lebih.
Bom meledak dalam semburan gelombang sonic, seketika melontarkan semua orang ke tempat terjauh dalam ruangan. Aku, Evan, dan ibuku aman dalam sofa. Pak Ferdi dan premannya menghantam dinding dengan keras. Sebagian dari mereka kurang beruntung karena bonus terkena pecahan kaca. Ya, pecahan kaca, bom bunyi ini juga mengakibatkan kaca-kaca dan beberapa barang lain pecah. Gigi mereka yang terkatup juga pecah semua. Mereka memegangi telinga mereka. Tapi gendang telinga mereka akan tetap pecah. Kami memakai penyumpat telinga penyaring sonic. Gendang telinga kami aman.. Pak Ferdi dan semua premannya pingsan seketika.
Setelah bom itu mereda, aku menarik tangan Evan dan ibu. Mereka masih bingung dengan kejadian ini. Aku melihat orang-orang terkapar tak berdaya itu. Gigi Pak Ferdi pecah semua. Ia tidak akan bisa berbicara dengan jelas lagi. Dan juga tidak akan bisa mendengar lagi. Ia akan seperti kakek-kakek yang tuli dan bicara gak jelas. Ia pantas mendapatkannya.
Pasti bom bunyi akan menarik perhatian banyak orang. Polisi juga pasti akan datang memeriksa apa yang terjadi. Tapi Pak Ferdi akan terlalu ompong untuk menjelaskan apa yang terjadi. Aku meninggalkan bukti kejahatan Pak Ferdi. Di salah satu meja yang mudah dilihat, agar polisi bisa menemukannya. Sebentar lagi Pak Ferdi akan menghabiskan sisa hidupnya dipenjara.
Kami berhasil keluar dari rumah yang porak poranda itu dan menjauh. Fajar mulai terbit saat kami sampai di rumah. Kak Evan terlihat letih sekali. Ibuku terus mengajukan banyak pertanyaan begitu sampai di rumah. Termasuk pertanyaan yang paling tidak ingin kudengar, ‘dimana ayahmu?’. Aku berhasil menjawabnya tanpa menangis. Tapi saat ibu menangis, aku juga tak bisa menahan ingin ikut menangis. Semua kejadian ini sangat memilukan. Tapi kami semua selamat, itu yang paling penting.
***
Ilmu pengetahuan tidaklah selalu baik. Bila disalahgunakan, pasti akan menimbulkan masalah. Bila dimanfaatkan dengan baik, pastinya akan berguna. Ilmu pengetahuan adalah anugrah sekaligus musibah. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam penggunaannya. Aku telah menyalahgunakan kepintaranku untuk berbuat jahat. Ya, aku akui aku salah, dan hasilnya tidak akan baik. Aku akan belajar dari pengalaman.
Tapi aku tidak bisa berhenti ingin menciptakan penemuan baru. Ide bermunculan di otakku dan menumpuk disana. Sayang jika tidak dimanfaatkan. Kalian juga pasti memiliki ide apapun itu. setiap ide baik akan berdampak baik juga. Jadi, ayo, bersamaku kita mewujudkan ide itu dan mengubah kehidupan mnenjadi lebih baik!


TAMAT


ini adalah cerpen pertamaku yang sudah rampung. semoga kalian suka ceritanya. :)

-AineSiti
adsense 336x280

0 Response to "The Smart Criminal Girl"

Posting Komentar