DICULIK KE DUNIA LAIN
Author : Aine Shity
Kaila terbangun dari tidurnya. Kali ini bukan karena mimpi buruk, tapi perutnya sakit. Ia ingin ke kamar mandi.
Matanya melirik pada jam dinding yang ada di atas pintu. Kedua jarum jam bersatu mnunjuk angka dua belas. Ini tengah malam. Dia tidak mungkin berani ke kamar mandi pada saat-saat seperti ini.
Kaila menahan keinginannya untuk pergi ke kamar mandi. Dia takut untuk pergi ke kamar mandi di jam-jam seperti ini. apalagi sekarang dia sedang berada di rumah neneknya di desa. Kamar mandi ada di sebelah rumah, bukan di dalam rumah. Kalau dia mau ke kamar mandi, berarti ia harus keluar rumah dan melewati gelapnya malam hari Tuban. Kalau di siang hari, dia berani-berani saja, tapi malam hari? Masalahnya.... tempat itu angker.
Dalam hati, Kaila menggerutu, kenapa aku tadi makan bakso dengan lima sendok Lombok?! Sekarang aku sakit perut! Bakso sialan.
Dia berusaha menghiraukan rasa sakit di perutnya dan mencoba tidur. Ia manarik selimutnya lebih rapat agar hangat. Setelah lima belas menit yang menyebalkan, ia pun tertidur.
Rasa sakit di perutnya membuat ia terbangun lagi. kali ini sudah tidak bisa ditahan lagi.
Di kamar ini tidak punya jendela—ia sangat bersyukur akan hal itu, karena dia tidak perlu melihat ‘sesuatu’ menakutkan di luar sana—tapi ada celah fentilasi di atas kamar. ia berharap melihat langit bersinar biru. Tapi yang ia temukan hanya langit gelap yang berarti masih malam.
Semoga sudah sekitar jam empat atau jam lima, pikirnya. Mungkin saja langit mendung dan menutupi fajar, ia berharap. Kalau sudah pagi, dia berani ke kamar mandi.
Ia dengan ragu melirik jam dinding lagi. baru jam tiga!
Aduh, aku sial sekali. Kaila mendesah sebal.
Dia jauh lebih takut terbangun pada jam tiga dini hari dari pada jam dua belas malam karena beberapa alasan. Pertama, saat tergelap di malam hari adalah saat tepat sebelum fajar terbit, Jam tiga. Kedua, keadaan lebih sepi dan mencekam. Ketiga, yang paling ia takuti, jam tiga adalah puncak waktu pagi para hantu berkeliaran. Bayangkan itu! tengah malam tidak ada apa-apanya dibandingkan jam tiga dini hari!
Perutnya terasa panas. Kaila langsung melupakan rasa takutnya dan bangkit dari tempat tidur. Terkadang, masalah perut memang harus didahulukan.
Dia melangkah dengan terburu-buru keluar dari kamarnya. Orang tua Kaila mendengkur di kamar sebelah. Di ruang tamu ada nenek tidur dengan sepupunya menggelar kasur. Mereka tertidur sangat lelap. Ia tidak tega membangunkan mereka untuk menemaninya ke kamar mandi. Lagi pula, ia sudah besar. Ia harus mandiri. Harus berani.
Ia membuka pintu belakang dan memakai sandal cepat-cepat. Ia tahu kalau sandalnya itu sebelahan. Kanan dan kiri tidak sama. Tapi siapa perduli? Dia hanya pergi sebentar. Ia tidak tahu kalau ia bisa saja pergi dalam jangka waktu lama. Atau bahkan, selamanya.
Kaila masuk ke kamar mandi yang gelap dan lembab. Tangannya meraba-raba mencari saklar lampu. Terdengar suara aneh yang sebelumnya pernah ia dengar tujuh tahun lalu, waktu ia masih umur lima tahun. Ia tahu itu suara apa. Sebuah erangan yang pastinya bukan berasal dari manusia. Ia tidak mau mendengar suara itu, apalagi sosoknya. Ia meraba dinding lagi dan akhirnya menemukan saklar lampu.
Sementara itu, di luar ruangan, angin berhembus kencang. Terdengar suara angin, dahan yang bergesakan, jangkrik yang mengerik, dan suara malam lainnya. Tapi semua itu tidak bisa menyembnyikan suara aneh yang berasal dari sebuah pohon tidak jauh dari kamar mandi itu. mungkin pohon itu yang membuat daerah ini angker.
Pohon itu seperti pohon biasa yang sering ditemukan di jalan pada umumnya. Tapi yang membedakan ialah, auranya. Ada aura gelap yang menyelimuti pohon itu. itu membuktikan bahwa ada ‘sesuatu’ yang mendiami pohon itu.
Sosok hitam besar keluar dari pohon itu. pelan-pelan melangkah ke arah pintu belakang rumah.
Kaila keluar dari kamar mandi dengan cepat-cepat. Ia bahkan yakin kalau ia belum menyiram toilet sampai 100% bersih. Itu bisa ditunda nanti. Ia ingin segera kembali ke dalam rumah.
Baru selangkah dari kamar mandi, Kaila membeku ketakutan.
Ia tidak percaya apa yang ada di depannya. Di depan pintu belakang rumahnya, ada bayangan seperi sosok manusia. Tubuhnya tersembunyi dalam kegelaan malam, Tapi pastinya Hitam, besar, berbulu, dan memiliki mata merah tajam yang menakutkan. Tentu saja itu bukan manusia. Itu adalah ‘sesuatu’ yang menggeluarkan suara aneh. Itu adalah genderuwo.
genderuwo itu mengeluarkan suara anehnya yang berat dan menekan. Mungkin lucu kalau ditulis dalam kata-kata. Tapi kenyataannya sangat menakutkan kalau disuarakan, apalagi oleh makhluk ini.
Kaila merinding. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya terasa berat untuk digerakkan. Kakinya seperti terpaku di atas tanah.
Lagi pula, kemana ia akan berlari? Pintu belakang terhalang makhluk itu. pintu depan tentu saja terkunci. Di sekitar rumah hanya ada dua orang tetangga, itu pun dia tidak kenal mereka. Di belakangnya hanya ada tegalan yang luas yang dipenuhi pohon jati. Kalau ia berlari ke sana yang ada malah dia bertemu makhluk yang lebih parah dari pada ini. aku benar-benar terjebak, pikir Kaila.
Ia ingin menutup matanya dan berharap ini akan menghilang begitu ia membukanya. Tapi, sama seperti tubuhnya, matanya tidak menuruti perintah Kaila. Seperti tubuhnya bukan ia lagi yang mengendalikan. Ini pertama kalinya tubuh Kaila menghianatinya. Ia terpaksa menatap mata merah menyala gendruwo itu.
Tatapan si genderuwo itu membangkitkan memori yang hampir hilang dalam otaknya. Ia ingat saat ia masih sangat kecil dan tidak takut pada apa pun. Saat itu, ia bermain sendirian di belakang rumah. Di dekat pohon tempat bersemayam gendruwo itu sebenarnya dulu ada pohon kecil. Kaila bermain dengan pohon itu. ia tidak ingat apa yang ia mainkan dulu dengan pohon itu. sekarang pohon kecil itu sudah tidak ada. Ia mematahkannya. Ia ingat saat ia bergelantungan pada batang pohon dan karena pohon itu tidak bisa menompang berat tubuhnya, pohon itu patah.
Dalam mata merah menyala genderuwo, Kaila melihat kilasan peristiwa. Setting tempatnya hampir sama. di belakang rumahnya, tapi di bawah pohon yang besar. Sosok yang dihadapannya ini sedang duduk sambil menangis dengan sosok kecil lain di pangkuannya. Si induk genderuwo menangisi kematian anaknya. Dan Kaila tahu, ia yang membunuh anak genderuwo itu. ia mematahkan pohonnya. Dan anak genderuwo itu adalah pohonnya.
Sekarang ia merasakan tatapan dendam di mata gendruwo betina itu. ia tidak tahu ia mau diapakan oleh makhluk gaib itu. kemungkinan pertama—dan yang paling memungkinkan—dia akan dibunuh. Kemungkinan kedua, ia bisa saja diculik genderuwo itu dan dijadikan pengganti anaknya. ia tidak suka kemungkinan pertama. Dan jau lebih tidak suka pada kemungkinan kedua.
Seharusnya ia lari saat itu juga!
Terlambat, genderuwo itu melangkah mendekatinya. Makhluk itu sudah satu meter darinya.
kegelapan malam sekarang tidak bisa menghalangi Kaila melihat gendruwo itu. Kaila melihat genderuwo itu dengan jelas. Seluruh tubuhnya ditutupi rambut hitam kecoklatan. Wajahnya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Atau terlalu buruk untuk bisa digambarkan dengan kata-kata. Bayangkan saja wajah seseorang yang terjangkit panu, kadas, bisul, atau penyakit kulit apa pun. Wajah genderuwo lebih buruk dari itu.
Jantung Kaila berdetak cepat, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia ketakutan, sangat ketakutan!
si genderuwo itu sudah di depan Kaila persis! Kaila bisa mencium bau aneh dan tidak sedap darinya. Makhluk itu mengangkat tangannya yang mengerikan. Hanya lima belas senti dari wajah Kaila, dan semakin lama jarak itu semakin berkurang. Sekarang hampir menyentuhnya! ia tidak tahu apa yang terjati setelahnya. Ia pingsan.
Kaila terbangun dari mimpi buruknya. Oh, ia sangat berharap itu hanya mimpi buruk.
Tapi itu bukan mimpi buruk!
Ia mengucak kedua matanya berkali-kali sampai terasa sakit. Pemandangan aneh di depannya tidak hilang juga.
ada sebuah hutan lebat dimana pohon yang tidak memiliki daun satu pun. Ia ada di bawah salah satu pohon itu yang menjulang tinggi mencakar langit. Sejauh matanya melihat, hanya ada pohon, pohon dan kegelapan. Langit berwarna merah-oranye. Ada lingkaran kuning berpendar terang yang tidak menyilaukan mata di atas langit. Ia tidak tahu itu bulan atau matahari. Terlalu terang untuk bulan dan terlalu redup untuk dikatakan matahari.
Ia sudah berkali-kali menyakiti dirinya dengan cupitan dan pukulan. Ia berharap akan terbangun. Tapi ia memang sudah terbangun. Ia merasakan sakit. Ini nyata.
Ia duduk memeluk lutut sambil menangis.
Penyesalan menghampirinya bertubi-tubi. Kenapa ia tidak memaksakan diri untuk lari? Kenapa ia mematahkan pohon itu? kenapa ia tidak menahan saja sakit perutnya? Kanap dia makan bakso yang terlalu pedas?!!
Penyesalan selalu datang pada akhir.
Kaila mengutuki dirinya sendiri dan terus menangis.
“dimana aku??”
0 Response to "Diculik ke Dunia Lain"
Posting Komentar